Hukum Menuntut Upah karena Memberikan Susu terhadap Anaknya
Pertanyaan: Apakah wanita dapat menuntut upah kepada suaminya atas jerih payah dan jasanya memberikan susu kepada anaknya?
Jawaban
Kiranya kita perlu mencermati bahwa hukum-hukum fikih dan prinsip-prinsip moral dalam Islam saling melengkapi satu sama lain dan sama sekali tidak terdapat jurang pemisah di antara keduanya. [1] (Baca Juga: Falsafah Pernikahan dan Berkeluarga)
Karena itu, apabila sebagian hukum sebagai hak dari hak-hak yang ditetapkan bagi setiap orang dan mukallaf dapat menggunakan hak ini sebagai sebuah hukum fikih, namun dalam ajaran-ajaran agama terdapat hak-hak lain yang disebut sebagai prinsip-prinsip moral yang dengan menempatkan keduanya bersandingan satu sama lain maka kehidupan akan menjadi lebih baik dan lebih indah.
Sehubungan dengan masalah yang mengemuka dalam pertanyaan di atas, harus dikatakan bahwa hal ini tergantung pada jenis kebudayaan dan loyalitas terhadap masalah-masalah syariat dan mizan hubungan yang terjalin antara suami dan istri.
Apabila hubungan yang terjalin berdasarkan hubungan-hubungan agama, kecintaan dan kasih sayang, suami yang memiliki kemampuan finansial bertanggung jawab, di samping memberikan nafkah dan kebutuhan-kebutuhan keseharian, untuk menyerahkan upah pemberian susu untuk anaknya kepada istri di samping hak-hak lainnya.
Akan tetapi dari sudut pandang moral, apabila suami tidak memiliki kemampuan finansial maka ada baiknya pihak istri tidak menuntut upah atas jasa pemberian susu tersebut kepada suaminya. Istri harap memperhatikan poin ini bahwa kehidupan rumah tangga akan menjadi indah dan menyenangkan tatkala suami dan istri masing-masing setia menjalankan tugas-tugas syariat dan moralnya masing-masing.
Namun apabila wanita memutuskan untuk tetap menuntut hak-hak syar’inya, apabila tidak membuahkan solusi melalui jalan musyawarah atau bantuan sesepuh keluarga, ia dapat menempuh jalur hukum dan mengajukan tuntutan di pengadilan.
Patut untuk disebutkan bahwa tuntutan upah jasa pemberian susu dari pihak istri, tidak serta merta bermakna adanya ikhtilaf antara suami dan istri, namun biasanya tuntutan-tuntutan seperti ini tidak umum berlaku dalam masyarakat Islam.
Referensi:
[1] . Silahkan lihat, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fî Tafsir al-Qur’ân, jil. 2, hal. 235, Daftar Intisyarat-e Islami Jamiah Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, 1417 H.
Sumber:
www.islamquest.net