• Black
  • perak
  • Green
  • Blue
  • merah
  • Orange
  • Violet
  • Golden
  • Nombre de visites :
  • 75
  • 23/5/2017
  • Date :

Mengapa Kita Memerlukan Nabi ?

Untuk membuktikan kemestian nubuwwah, dapat dilakukan dengan dua pendekatan argumen; pertama dengan pendekatan argumentasi rasional (aqli) dan kedua dengan pendekatan argumentasi referensial (naqli). 

mengapa kita memerlukan nabi ?

Sebelum dipaparkan pembuktian dan argumentasinya, kami memandang urgen mengutarakan poin berikut ini: Bahwa unsur inti dari kenabian terbangun atas dua hal;

 

a) Aturan dan undang-undang dari Tuhan, yakni wahyu;

 

b) Pembawa aturan atau wahyu, yakni nabi.

 

Oleh karena itu, sebagian dari argumen rasional, tinjauannya mengarah pada kemestian wahyu, dan sebagiannya mengarah kepada kemestian kenabian. Akan tetapi tentu saja dengan jalan membuktikan salah satu di antara keduanya maka sudah meniscakan ketetapan yang lainnya.

 

Argumentasi Rasional

Untuk membuktikan kemestian kenabian atau mengapa kita memerlukan nabi, jalan pertama yang harus ditempuh mengkonstruksi argumentasi rasional tentangnya, sebab tanpa landasan argumentasi rasional maka permasalahan fundamental ini tidak memiliki nilai validitas ilmiah yang bersifat universal (sebab orang-orang ateis dan penganut agama yang tidak mengakui kemestian kenabian tidak dapat dimasukkan ke dalam orang-orang yang bisa menerima argumentasi kenabian dengan jalan nakli). Hal ini disebabkan karena apabila masalah kenabian dijelaskan dengan argumentasi wahyu maka hal ini hanya dapat dilakukan jika eksistensi Tuhan dan eksistensi Firman-Nya telah dibuktikan dengan argumen rasional terlebih dahulu.

 

Oleh karena itu, langkah pertama yang mesti dilakukan membuktikan prinsip kenabian dengan argumentasi akal. Setelah dibuktikan tentang keniscayaannya dan wahyu yang diturunkan pada nabi Muhammad Saw adalah hak, barulah dapat dibuktikan masalah kenabian dan rincian tentangnya dengan pendekatan ayat-ayat al-Qur'an.

    

Adapun landasan argumentasi rasional kemestian kenabian, di antaranya beberapa premis berikut: 

 

a. Kebutuhan manusia kepada undang-undang secara mesti dan ketidakmampuan mereka untuk mengadakannya;

 

b. Kebutuhan kepada kesempurnaan ruh;

 

c. Kemestian pembimbing.

 

Sekarang kita akan menguraikan argumen kemestian kenabian ini dan landasannya.

 

Kebutuhan Terhadap Undang-undang dan Ketidakmampuan Manusia Mengadakannya   

  

Penjabaran burhan ini dapat disempurnakan dengan menjelaskan beberapa matlab terlebih dahulu sebagai mukadimahnya:

 

Penciptaan manusia berasaskan hikmah dan hanya sanggup ditangani oleh Tuhan Yang Mahabijaksana dan Hakîm;

 

Manusia tersusun dari dua unsur materi dan ruh. Komposisi ini telah menyebabkan manusia mesti mendapatkan kekhususan-kekhususan badan materi dan kekhususan-kekhususan ruh non-materi, dan ini mengimplikasikan adanya kebutuhan manusia yang bersifat  rasional dan bersifat empirikal; namun tujuan sejati dari penciptaan manusia, hakikatnya adalah  perkara rasional dan langgeng.

 

Manusia, dari dimensi materi dan tabiat, adalah maujud yang bergolak, tidak puas, agresor, penindas, memperbudak, dan egois. Ada kemungkinan sifat agresor terhadap hak-hak orang lain ini sudah inheren dengan dimensi wujud tabiatnya. Dari sisi ini, jika kekuatan tabiat manusia tidak dikekang dan dilunakkan, maka ia merupakan maujud berbahaya dan pembuat keburukan, yang apabila ia berkeinginan memikirkan tentang masalah hak-hak manusia dan menyusun tentangnya maka niscaya ia akan berpikir dan menyusun hal yang menguntungkan sekelompok orang serta merugikan kelompok lainnya. Dan dengan undang-undang yang ia tulis demikian, akan mengantarkan manusia pada perbudakan sekelompok orang dan kelompok lainnya sebagai penindas serta pengambil keuntungan. Selanjutnya kelompok lemah akan semakin terpojok dan lemah posisinya, yang pada akhirnya akan mengarah kepada kehancuran, ketiadaan, atau perbudakan dalam bentuk yang bermacam-macam. Manusia seperti ini, memandang cara mencapai kebahagiaan dengan jalan penindasan dan itu merupakan logikanya: "Maka kumpulkanlah segala tipu daya (sihir) kamu, kemudian datanglah dengan berbaris, dan sungguh beruntung orang yang menang pada hari ini."[1] Mereka ini hendak membawa orang-orang lemah di bawah kekuasaannya serta memperbudaknya. Namun, sebab penindasan terhadap orang lain bukanlah hal yang langgeng, maka tidak lama kemudian terjadilah pertentangan dan pergolakan di antara kelompok-kelompok yang berlawanan. Oleh karena itu, ungkapan masyhur ini: 'Manusia adalah makhluk berperadaban', 'Manusia adalah makhluk berbudaya', tidaklah benar tanpa analisa dan penguraian yang tepat. Bahkan dengan watak material yang bersemayam dalam tabiat manusia, selamanya peradaban ini tidak pernah terinstitusikan; sebab mereka secara tabiat (bukan fitrah) menginginkan segala sesuatu itu kepada dirinya dan bagi dirinya (egoisme).

 

Dari sisi lain, manusia tidak memiliki jalan lain kecuali hidup bermasyarakat; sebab ia tidak mampu secara sendiri memecahkan kesulitan-kesulitan hidup yang sangat banyak dari pangkal jalan kehidupannya dan mencapai keinginan-keinginan yang muncul dari kebutuhan-kebutuhan naturalnya. Oleh karena itu, ia membutuhkan kehidupan bermasyarakat dan bermitra. Dan dalam kehidupan bermasyarakat dan bermitra ini, akan nampaklah akar-akar ketidakadilan dan kezaliman, pelanggaran hak-hak, penjajahan, penindasan, ketamakan, egoisme, dan tabiat buruk manusia lainnya. Di sinilah letak kebutuhan manusia terhadap undang-undang; undang-undang yang universal, komplit, sempurna, menyamaratakan, dan menyampaikan manusia kepada keamanan serta kesejahteraan.

 

Dari sisi lain, akal manusia dalam membawa manusia untuk melewati jalan kesempurnaan dan kebahagiaan, kendatipun mempunyai pengaruh yang cukup penting akan tetapi ia secara sendiri tidak dapat menyingkap semua kejahilan-kejahilan serta memecahkan seluruh perselisihan, pertentangan, dan kekisruhan. Sebab, sangat banyak masalah yang berhubungan dengan mabdâ (permulaan) dan ma'âd (penghujung) serta sejumlah nilai-nilai agung lainnya yang jauh dari jangkauan akal manusia. Apatah lagi, akal teoritis, juga dalam pemikiran dan penalaran tidak terhindar dari mugâlatah (fallacy, sophis) serta kesalahan, dan juga akal praktis dalam keputusan dan kebijakan tidak lepas dari penjara syahwat dan ghadhab. Sebagaimana yang terjadi dalam banyak bidang dan masalah, seperti ekonomi, akhlak, keluarga, sosial, politik, dan lainnya, akal  tidak sanggup mengkonstruksi jalan yang kokoh dan permanen. Contoh konkrit tentang hal itu munculnya adalah ideologi dan maktab yang beraneka ragam yang saling berlawanan dan bertentangan.

 

Di samping itu, manusia, tidak mempunyai pengetahuan dan ilmu berkenaan dengan pengadaan undang-undang komprehensip, universal, dan memenuhi seluruh segi; sebab ia tidak dapat meninjau dan  mempertimbangkan kekhususan-kekhususan wilayah-wilayah secara geografis dalam seluruh priode sejarah atas seluruh masyarakat manusia dan meletakkan bagi mereka suatu undang-undang yang cocok. Contoh ketidaksanggupan ini, adanya peselisihan undang-undang dalam setiap zaman dan juga perubahan serta pergantian yang terus menerus dalam generasi demi generasi.

 

Dengan memperhatikan sisi dan dimensi yang beragam dari matlab dan landasan yang sudah di sebutkan di atas, maka akal menerima kemestian turunnya undang-undang universal dan sempurna dari alam  metafisika. Akal mengakui kekurangannya dan menerima penampakan suatu kekuatan yang membawa produk-produk pikiran ke arah hakikat serta menghilangkan kesalahan-kesalahannya, yang menolong akal dalam menemukan dan merealisasikan undang-undang universal dan sempurna Ilahi, yang menggantikan pertentangan-pertentangan serta perselisihan-perselisihan dengan kesatuan dan kesepakatan, dan yang mengorganisir kebutuhan-kebutuhan pemikiran dan rasionalitas dan memekarkan potensi-potensi insaniah serta memberitahukan jalan keberuntungan dan jalan kerugian. Suatu kekuatan yang memancar dari ilmu dan makrifat, yang mengetahui sisi-sisi kegelapan dan terang, perkara kecil dan besar, sisi universal dan partikular dari sistem alam penciptaan serta undang-undang yang berlaku di dalamnya.

 

Mazhar dan manifestasi kekuatan ini tidak lain adalah eksistensi pemberi kebahagiaan, yaitu wujud para nabi As (yang bahasan tentang misi dan kedatangannya dibahas dalam bentuk yang terpisah dari pembahasan ini). Oleh karena itu, Nabi Saw (Muhammad) adalah paling pertama dan utamanya ciptaan Tuhan (yang pertama diciptakan Tuhan adalah cahayaku: hadis), dan hanya dalam pancaran kenabiannya masyarakat manusia mampu menggapai kebahagiaan. Demikian juga  tentunya manusia paling akhir yang akan hidup di muka bumi ini niscaya akan melalui dia akan berada dalam naungan wahyu dan agama Ilahi; sebab kebutuhan manusia terhadap wahyu dan pembimbing adalah bersifat niscaya dan universal.

 

Kebutuhan Manusia Kepada Kesempurnaan dan Kebahagiaan  

Telah disinggung sebelumnya bahwa manusia mempunyai ruh non materi (mujarrad),  dan pada tempatnya (dalam pembahasan Filsafat) telah dibuktikan bahwa ruh manusia adalah langgeng dan abadi serta tidak ada jalan kehancuran dan kemusnahan  baginya. Juga telah dibuktikan bahwa hakikat manusia terbangun oleh ruh dan badannya tegak dengan mengikut pada ruh yang non materi ini. Oleh karena itu, manusia dari sisi ruh dan nafs natiqah merupakan suatu maujud yang unggul dan utama, yang bukan ahli bumi dan zaman serta tidak bergantung pada langit dan malaikat. Demikian pula ia adalah suatu maujud yang menuntut kesempurnaan, bergerak dan tidak diam (yang dimaksud di sini bukanlah gerak materi), dan memiliki kemampuan untuk mengakses dan mengaplikasikan seluruh ilmu dan pengetahuan Fisika, Biologi, Arkeologi, Astrologi, Geologi, Sosiologi, dan lainnya.

 

Dengan seluruh kelebihan dan keunggulan ini, bukan berarti manusia sudah tidak butuh terhadap bimbingan dan arahan kenabian serta tidak butuh lagi sampai pada kesempurnaan yang paripurna. Dengan demikian, manusia tetap senantiasa butuh terhadap undang-undang yang membina dan mendidik ruh, dan butuh terhadap ajaran kesempurnaan dan hidayah kebahagiaan para nabi As. Para nabi As, dengan membawa dan menjelaskan undang-undang Tuhan, akan menyebabkan mekar dan merekahnya ruh manusia.  Oleh karena itu, setiap manusia butuh terhadap wahyu Tuhan; apakah ia orang yang paling pertama di muka bumi ini, apakah ia orang yang mengasingkan diri dari masyarakat  ataukah bermasyarakat; sebab manusia dalam berinteraksi dengan dirinya dan dalam berhubungan dengan penciptanya serta dalam  bagaimana ia mengatur hubungan antara dirinya dengan sistem eksistensi, kendatipun mengasingkan diri dan berkhalwat sendirian, ia tetap membutuhkan penunjuk jalan dan pembimbing gaib.

 

Kemestian Pembimbing  

Telah disebutkan bahwa unsur inti kenabian tersusun dari dua hal; pertama undang-undang yang turun dalam bentuk wahyu Tuhan, kedua pembawa undang-undang atau wahyu yang disebut dengan nabi. Kemestian wahyu, sesuai dengan penjelasan di atas, pada dasarnya telah terpaparkan, dan sekarang sebaiknya dipaparkan kemestian pembimbing.

 

Adapun kemestian keberadaan nabi dan pembimbing, adalah bahwa undang-undang gaib -yakni wahyu Allah Swt- tidak tumbuh dari tanah dan tidak tercurah dari langit, tidak terberkas dalam benang-benang otak manusia dan tidak tersisip di sela-sela kitab yang disusun manusia serta tidak ditemukan di tempat lain; akan tetapi hanya didapatkan dari sisi Tuhan yang terkadang termanifestasi dengan tanpa perantara dan suatu ketika dengan perantara malaikat.

 

Tempat turunnya sabda gaib ini dan tempat manifestasi kalam malakuti (non-material) seperti ini, adalah kalbu suci manusia yang maksum, yang terjaga dari kekeliruan dan kelupaan dalam seluruh dimensi dari penerimaan wahyu, pemeliharaan wahyu, dan penyampaian wahyu, serta suci dari setiap bentuk dosa dan kesalahan. Undang-undang langit ini, butuh pada penjelasan, penguraian, perealisasian, perlindungan, dan pembelaan.

 

Masyarakat manusia, tanpa teladan suci dan uswah (paragon) serta tempat rujukan pemecahan perselisihan dan penguraian benang-benang pertentangan, selamanya tidak akan pernah menyaksikan kebahagiaan ideal yang didambakannya. Oleh karena itu, kemestian keberadaan nabi Tuhan yang mengemban seluruh dimensi-dimensi yang telah diungkapkan tersebut, adalah benar secara akal dan rasional.

 

Untuk menjelaskan sebagian dari prinsip-prinsip tersebut, dapat diutarakan dalam bentuk seperti ini: Manusia, memulai perjalanan kesempurnaan dan kebahagiaan idealnya dari titik potensi dan berakhir pada pusat aktual: "…sesungguhnya kita dari Allah dan kepada-Nya kita akan kembali".[2] Oleh karena itu, harus ada antara titik permulaan (mabda) dan titik akhir (ma'ad) , jalan dan juga penunjuk jalan; sebab  ia tidak akan pernah sampai pada tujuan idealnya tanpa jalan benar dan penunjuk jalan; karena dalam pertengahan jalan terdapat gangguan yang mengombang-ambingkan, padang sahara menyesatkan, perampok-perampok pemikiran dan keinginan, fatamorgana-fatamorgana yang menipu, dan hewan-hewan buas pemangsa keimanan.

 

Jangan lewati tahapan ini tanpa pertemanan Hidir"

 

Takutlah dari mara-bahaya kesesatan, lantaran kegelapan"[3]

 

Oleh karena itu, antara titik permulaan dan mencapai tujuan, membutuhkan jalan yang bernama agama serta penunjuk jalan yang bernama nabi yang bertugas mengarahkan manusia berjalan di atas agama dan syari'at: "Sesungguhnya Kami telah memberi hidayah jalan kepadanya…".[4]

 

Di samping itu, lebih dari pada apa yang telah kami sebutkan di atas terdapat beberapa poin penting lainnya berkenaan masalah ini:

 

Agama yang merupakan shirath al-mustaqîm kesempurnaan dan kebahagiaan individu dan masyarakat, kendatipun sebagian darinya disingkap dengan bantuan argumentasi akal, tetapi bagian penting darinya mesti disingkap dengan wahyu Ilahi.

 

Masyarakat manusia, tidak hanya pada bagian khusus wahyu butuh pada penunjuk dan pembimbing, bahkan pada bagian yang akal mandiri di dalamnya pun juga  butuh kepada uswah dan teladan.

 

Pembimbing manusia dalam dua bagian tersebut, adalah manusia sempurna dan manusia maksum, yang mana dalam bidang akal teoritis kokoh dalam kepastian kebenaran dan juga dalam akal praktis tidak menerima kecacatan dalam kepastian kebenaran, serta dalam menerima, menjaga, dan menyampaikan  wahyu Tuhan terpelihara dari kealpaan, kelalaian, dan kesalahan. Oleh karena itu, mereka yang disebut nabi Tuhan ini merupakan dambaan, kecintaan, dan maksud dari seluruh kafilah dan musafir kesempurnaan manusia, dan di bawah naungan kemuliaannya,  ateisme, kesyirikan, dan kekafiran menemukan kehinaan dan kehancuran.

 

Dengan kata lain, Tuhan Yang Maha Suci, yang merupakan Tuhan seluruh alam semesta menjadikan alam dan penghuni alam berada dalam pengaturan-Nya dan manusia juga yang merupakan maujud yang memiliki pikiran, nalar, dan rasio tidak terkecualikan dalam hal ini; sebab pengaturan, bimbingan, dan pengajaran manusia harus sesuai dengan struktur badan dan pikirannya, dan sudah jelas bahwa pekerjaan besar ini tidak akan terwadahi dengan pengetahuan yang sedikit dan kecil manusia; akan tetapi yang bisa menanggung pekerjaan ini haruslah ilmu pancaran ladunni dan Ilahi dan juga berdasarkan penegasan serta bantuan rabbâni: "…dan Kami kuatkan ia dengan ruhul qudus…".[5] Pribadi agung dan mulia ini merupakan manusia pilihan Tuhan yang disebut dengan nabi, yang ditujukan untuk mengajar, membimbing, dan mengangkat manusia dari alam kegelapan ke alam cahaya.

 

Kesimpulan dari pembahasan kita di atas dapat dijelaskan dalam bentuk seperti ini:

 

a.  Akal manusia, menyaksikan kekeliruan dan kesalahan ilmu serta kesalahan amal pada dirinya dan orang lain, dan dengan pengalaman yang kontinyu serta berkesinambungan,  menyimpulkan bahwa manusia biasa tidak terpelihara dari terpaan kekeliruan dan kesalahan serta wabah kecenderungan keburukan.

 

b.  Manusia yang demikian ini, tidak akan pernah sanggup menyusun undang-undang yang terjaga dari kesalahan, tercegah dari aib, dan terpelihara dari kekurangan; akan tetapi bagi pemikir dan cendekiawan yang bukan muwahhid, keberadaan manusia maksum, bagi mereka ini adalah  ide yang utopia, tetapi bagi pemikir muwahhid, keberadaan manusia suci ini, bagi mereka adalah pasti dan qat'î; sebab mereka berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Hâdi, Hakîm, dan Adil, yang kekuasaan dan kekuatan-Nya adalah azali dan tidak ada jalan kelemahan, kekurangan, dan ketidaksanggupan terhadap kapasitas kemampuan-Nya yang tak terhingga, serta tidak ada sama sekali aral dari dalam -dengan makna bakhil- dan dari luar -dengan makna terkalahkan faktor lain- yang mencegah-Nya menciptakan manusia maksum ilmu dan amal yang sesuai dengan hidayah, hikmah, dan keadilan-Nya. Manusia sempurna demikian inilah yang kita sebut dengan nabi Tuhan.            

 

Soal dan Jawab   

1. Mengapa semua nabi dipilih dari kalangan laki-laki ?

Kenabian, kadang inbâi dan kadang tasyrî'i. Al-Qur'an, meletakkan  masalah kenabian tasyrî'i -yang dijelaskannya dalam bentuk risalah- dalam ikhtiar kalangan laki-laki: "Dan Kami tidak mengutus  (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui"[6]; sebab ini adalah pekerjaan yang bersifat perealisasian yang mengharuskan kebersamaan dan kehadiran di tengah masyarakat serta tanggung jawab dalam masalah kepemimpinan perang, damai, penerimaan dan pembagian harta, serta pengaturan dan penertiban pekerjaan masyarakat.

 

Oleh karena itu, risalah dengan makna kepemimpinan masyarakat dan menjelaskan yang halal, haram, wajib, mustahab, makruh, mubah, dan seperti itu, merupakan nubuwah khusus, yang dikarenakan maqam perealisasian maka diserahkan pertanggung jawabannya kepada kaum laki-laki; akan tetapi nubuwah inbâi dengan pengertian bahwa seseorang mendapatkan informasi dari jalan wahyu lantas mengetahui apa yang terjadi sebelumnya dan akan terjadi kemudian, menyaksikan masa depan dirinya, dan mengetahui masa depan orang lain, pada dasarnya jenis nubuwah ini kembali kepada wilayah, bukan kepada nubuwah tasyrî'i dan risalah pelaksanaan. Kendatipun jenis nubuwah ini juga merupakan tonggak dasar setiap bentuk risalah dan nubuwah tasyrî'i, tetapi tidak terkhususkan pada laki-laki, akan tetapi wanita juga dapat meraih maqam ini; seperti hadhrat Zahra As dan Hadhrat Maryam As.

 

Adapun bahwa para wanita tidak menjadi nabi, hal ini sebenarnya tidak mengurangi maqam mereka; sebab wanita juga mencapai derajat wilayah yang merupakan pilar dari nubuwwah dan bahkan bisa saja wanita lebih utama dari nabi-nabi dari segi maqam; sebagaimana Hadhrat Fatimah Zahra As mendapatkan derajat tinggi sedemikian menurut sebagian dari riwayat.[7]

 

Oleh karena itu, wilayah, yang merupakan kedudukan malakuti dan maknawi serta merupakan batin nubuwwah dan risalah, tidak membedakan  antara laki-laki dan wanita, dan mereka memiliki kompetensi sama dan setara untuk mencapai tingkatan maqam ini. Manusia yang mencapai tingkatan ini, menjadi dekat dengan Tuhan dan dalam maqam inilah terkadang ia mendapatkan tugas pelaksanaan dan terkadang tidak mendapatkan tugas seperti itu. Dari dimensi ini maka laki-laki mendapatkan tugas, bahwa proposisi dan berita gaib sesudah didapatkan, disampaikan kepada masyarakat, dan berkorban di jalan menjaga dan melindunginya serta berperang dengan orang-orang yang memeranginya atau ia sendiri terbunuh atau ditangkap, dipenjara, dan disiksa atau beragam hambatan lain yang didapatinya.

 

Maka dari itu, setiap rasul dan pembawa pesan, juga adalah wali. Akan tetapi tidak semua wali adalah pembawa pesan tasyrî'i. Di samping itu, kenabian laki-laki tidak terhitung sebagai kelebihan bagi mereka, dan tidak terpilihnya wanita menjadi nabi juga tidak mengurangi keutamaan pribadinya dihubungkan dengan laki-laki; kendatipun pada dasarnya prinsip kenabian dan risalah itu sendiri terhitung sebagai paling baiknya prinsip-prinsip nilai.

 

2. Apakah mungkin kehidupan ini tanpa nabi ?       

Salah satu dari kelaziman kenabian 'âmm adalah tidak satupun masyarakat (umat) tanpa pembimbing gaib dan tidak ada kemungkinan Tuhan membiarkan suatu umat lepas tanpa pengajar dan pembimbing (nabi); sebab Tuhan sendiri adalah murabbi dan mudabbir manusia.

 

Manusia, telah melalui tahapan-tahapan dan akan menempuh tahapan-tahapan, yang mana mau tidak mau harus ia jalani itu semua. Ia tidak mengetahui sebelum keberadaan dirinya dari alam mana ia datang dan hendak kemana ia harus pergi, dan jika tidak ada wahyu dan nubuwah, ia tidak akan mungkin tahu mabda dirinya dan tidak akan pernah tahu ma'ad dan tujuan dirinya. Manusia dengan seluruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, masih sangat banyak dari rahasia-rahasia tubuhnya yang tidak diketahuinya, sebagaimana dalam alam luas ini terdapat jutaan rahasia yang belum tersingkap dan manusia dalam berhadapan dengannya masih belum menemukan jalan pemecahan dan jalan penyelesaian.

 

Manusia butuh kepada undang-undang yang memberikan kebahagiaan, ia butuh terhadap pengajaran dan bimbingan Ilahi sehingga ia dapat menjamin maslahat individu dan sosialnya, dunia dan akhiratnya serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Nama muallim undang-undang dan muballig pembimbing ini adalah nabi. Dari sisi ini, tidak satupun dari umat yang tidak mempunyai nabi: "Sungguh, Kami mengutus engkau dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada satu pun umat melainkan  di sana telah datang seorang pemberi peringatan."[8]; tidak mungkin suatu masyarakat hidup dalam suatu wilayah dan Tuhan tidak mengirimkan bagi mereka pembimbing: "Orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai dating kepada mereka bukti yang nyata"[9]; Tuhan tidak memisahkan masyarakat dari nubuwah 'aam, apakah ia itu bertauhid ataukah tidak bertauhid, dan kenabian selamanya tidak akan terpisahkan dari kemanusiaan. Sebagaimana penciptaan hewan tidak mungkin tanpa disertai penciptaan air, atau penciptaan manusia tidak mungkin terpisahkan dengan penciptaan udara, demikian pula penciptaan masyarakat manusia tidak mungkin tanpa pengiriman wayu dan sabda Tuhan.

 

Sebagai konklusi; kemanusiaan tidak mungkin terpisahkan dari kenabian, sekarang apakah nabi itu berada di antara masyarakat atau penggantinya atau kitab dan doktrin serta pengajarannya yang merupakan sari pati risalahnya. Oleh karena itu, dengan tinjauan rububiyah dan hikmah Tuhan maka kehidupan berbudaya dan berperadaban manusia tanpa kenabian merupakan suatu asumsi yang tidak benar dan ungkapan ini sudah menjadi penegasan akal yang sahih dan wahyu yang sarîh (terang).

 

3. Apakah nabi pernah muncul di dataran  Barat dan di Timur jauh ?

Kita tidak mempunyai dalil kalau Tuhan Tidak pernah mengirimkan kepada mereka nabi; sebagaimana ayat menyebutkan: "… dan tidak ada satu pun umat melainkan di sana telah datang seorang pemberi peringatan"[10]. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa pengutusan nabi meliputi seluruh umat-umat; yakni tidak satupun umat -apakah di Timur dan di Barat, atukah di Utara dan Selatan- tanpa pemberi peringatan; dan jelas bahwasanya pemberi peringatan (ancaman) ini juga ia adalah pemberi kabar gembira (basyîr dan nadzîr), yakni nabi.

 

"Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah, dan jauhilah tagut"[11]. Jika al-Qur'an hanya menyebutkan sebagian nama-nama nabi, ini bukan berarti jumlah mereka terbatas pada jumlah tersebut; sebab di samping itu, terdapat nabi-nabi yang jumlah hitungan mereka dalam kumpulan riwayat-riwayat yang hanya sebagian darinya yang disebutkan dalam al-Qur'an: "Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul  sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu…".[12] 

          

Imam Baqir As bersabda: "Antara nabi Adam As dan nabi Nuh As terdapat nabi-nabi yang hidup secara rahasia, karena itu dirahasiakan juga penyebutannya dalam al-Qur'an dan nama-nama mereka tidak tercantum sebagaimana dicantumkannya para nabi As yang diumumkan nama-namanya".[13]

 

Oleh karena itu, mungkin saja bangsa-bangsa berkulit warna, dalam wilayah kehidupan mereka telah diutus nabi-nabi; sebagaimana telah diriwayatkan dari hadhrat Ali As bahwasanya telah diutus nabi yang berkulit hitam yang al-Qur'an tidak menceritakannya kepada kita.[14]

 

Terdapat perbedaan tentang jumlah para nabi As, sebagian riwayat mengatakan bahwa jumlah mereka sebanyak 124 000 dan sebagian lainnya menyebutkan jumlah mereka 8 000 yang mana 4 000 di antara mereka diutus untuk kaum Bani Israil dan 4 000 lainnya diutus untuk bangsa-bangsa lainnya.[15]

 

Berasaskan ini, di seluruh negeri-negeri, Timur dan Barat, Utara dan Selatan, dan seluruh umat-umat telah dibangkitkan seorang nabi atau beberapa nabi bagi mereka,  dan nama-nama mereka tidak disebutkan dan tidak dicantumkan dalam kitab-kitab suci seperti Zabur, Taurat, Injil, dan al-Qur'an serta tidak terjangkau masyarakat Arab, padahal sepatutnya karya dan peninggalan mereka dipelajari oleh umat-umat  di zaman mereka, namun, masyarakat dan umat itu tidak dapat mengambil ibrah dan pelajaran dari mereka; berbeda dengan peninggalan para nabi yang dekat dengan Hijaz seperti, hadhrat Ibrahim, Musa, Isa, Nuh, Lut, Yunus, Syuaib As, dan lainnya.

                                                                 

Argumen Referensial (Naqli)

            Tuhan Yang Maha Hakîm, untuk membawa manusia  mencapai kebahagiaan, telah memberikan dua sumber pengenalan dan pengetahuan dalam ikhtiar mereka, yaitu wahyu dan akal yang keduanya saling melengkapi satu sama lain. Akal adalah pelita yang terang yang harus berada di tangan pejalan dan musafir digelapan malam, sedangkan wahyu, adalah jalan Ilahi yang mesti dilewati sang pejalan untuk menggapai harapannya menuju kesempurnaan dan kebahagiaan ideal dan abadi.

 

Manusia, tanpa pelita (alat pengenalan dan wasilah penjelasan) tidak akan dapat menemukan jalannya yang benar serta tidak sanggup melanjutkan perjalanannya. Demikian pula, tanpa wahyu maka akal akan berada dalam kebimbangan di antara jalan-jalan yang beraneka ragam (lihatlah mazhab dan ideologi yang menolak wahyu, semuanya dalam jalan kebimbangan dan keragu-raguan yang tidak mengetahui hendak kemana specis manusia ini dibawa pada akhir perjalanan materialnya). Oleh karena itu, orang-orang yang hanya bersandarkan akal dan rasio serta menafikan wahyu Tuhan untuk mencapai kebahagiaan abadi maka niscaya mereka ini tidak pernah akan dapat mewujudkan tujuannya. Dari sisi lain, bersandarkan wahyu tanpa menggunakan akal akan terperangkap pada kejumudan, determenisme, antrophormisme, dan keterpenjaraan pada kesalahan serta kekeliruan. Berasaskan ini, mari kita simak pernyataan sang guru maktab Islam Ahlul Bait Nabi Saw, Imam Musa bin Ja'far As: "Sesungguhnya Allah Swt menjadikan bagi manusia dua hujjah; hujjah zahir dan batin, adapun hujjah zahir adalah para rasul, para nabi, dan para imam maksum As, dan adapun hujjah batin adalah akal".[16]

 

Disamping itu, kita bisa lihat betapa banyak ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang kemestian pengutusan nubuwah untuk memberi peringatan dan kabar gembira kepada manusia, membawa mereka kepada penegakan keadilan, mengangkat mereka dari alam kegelapan kepada cahaya iman yang terang, membersihkan individu dan masyarakat manusia, mengajarkan hikmah kepada mereka, dan mengajarkan apa yang tidak dikatahui manusia dengan hanya  menggunakan akal secara mandiri, seperti ayat-ayat berikut:

 

 "Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus".[17]

 

"Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil".[18]

 

"Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang rasul dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepada kamu kitab dan hikmah, serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui".[19]

 

"Dialah yang mengutus seorang rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, meskipun sebelumnya , mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata".[20]

 

"(Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan…".[21]

 

"…dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…".[22] Ayat terakhir yang kami sebutkan ini memiliki kandungan yang luas dan dalam, yakni bahwasanya manusia hanya dapat  mendapatkan kebebasan dan kebahagiaan hakiki jika mereka mengikuti para nabi Tuhan.

 

 Untuk melengkapi keterangan ayat-ayat tersebut di atas, kami bawakan juga satu hadits dari kitab Nahjul Balagah yang mana Imam Ali As bersabda: "Maka Tuhan membangkitkan rasul-rasul-Nya di antara mereka dan mengutus nabi-nabi-Nya berturut-turut kepada mereka sehingga tertagih janji fitrah mereka dan teringatkan nikmat-nikmat yang terlupakan serta dengan penyampaian (wahyu Tuhan) menjadi sempurnahlah hujjah Tuhan atas mereka dan tampaklah kepada mereka apa-apa yang dipendam akal mereka".[23]

 

Mengakhiri pembahasan ini ada beberapa poin berikut yang urgen kami sebutkan:

 

Maksud dari wahyu Tuhan, adalah apa yang Tuhan beritakan kepada nabi-Nya tanpa perantara atau dengan perantara malaikat atau hijab lain, yang ketetapan kandungannya bagi sejumlah masyarakat (orang), dengan jalan yakin atau dengan jalan tuma'ninah uqalâi. Yakin, dihasilkan dengan jalan khabar mutawatir atau khabar wâhid yang dikelilingi dengan syawâhid qat'i, sedangkan tuma'ninah uqalâi diperoleh dari jalan khabar wâhid muwatssaq.

 

Maksud dari akal argumentativ, adalah argumen yang memberikan paedah qat'i atau pengalaman (eksperimen) yang menyebabkan tuma'ninah specis.

 

Tidak berpegang pada dalil nakli yang tidak muktabar, kendatipun berpaedah dalam hal perkiraan; sebab perkiraan dan persangkaan bukanlah hujjah. Juga tidak bersandar pada dalil akal yang tidak memiliki nisab hujjiyah, meskipun ia bentuknya seperti analogi dalam logika -analogi ini dalam ilmu ushul dan fiqh disebut dengan qiyas - yang kapasitasnya dapat memberikan persangkaan; sebab setiap perkiraan tidak dapat dijadikan sandaran.

 

Referensi:

[1] . Q.S. Tâhâ [20]: 64.

[2] . Q.S. al-Baqarah [2]: 156.

[3] . Diwân Hâfizh.

[4] . Q.S. al-Insan: 3.

[5] . Q.S. al-Baqarah [2]: 87.

[6] . Q.S. al-Anbiyâ [21]: 7.

[7] . Di antaranya merujuk pada Kitab Hadits Bihârul Anwar, Jld. 43, Hal. 12.

[8] . Q.S. Fâtir [35]: 24.

[9] . Q.S. al-Bayyinah [98]: 1.

[10] . Q.S. Fâtir [35]: 24.

[11] . Q.S. an-Nahl [16]: 36.

[12] . Q.S. al-Mu'min [40]: 78.

[13] . Tafsir Burhan, Jld. 4, Hal. 104.

[14] . Tafsir Nur al-Tsaqalain, Jld. 4, Hal. 537.

[15] . Ibid.

[16] . Ushul Kafi, Jld. 1, Hal. 16.

[17] . Q.S. an-Nisâ [4]: 165.

[18] . Q.S. al-Hadid [57]: 25.

[19] . Q.S. al-Baqarah [2]: 151.

[20] . Q.S. al-Jum'ah [62]: 2.

[21] . Q.S. Ibrahim [14]: 1.

[22] . Q.S. al-A'raf [7}: 157.

[23] . Nahjul balagah, Khutbah 1.

 

Sumber:
www.wisdom4all.com

  • Print

    Send to a friend

    Comment (0)